Saturday 25 August 2007

Tony Chen Buka Suara Soal Kontroversi MoU Microsoft

Tony Chen merasa perlu mengklarifikasi persoalan MoU yang terkesan menyudutkan Microsoft.

Lama berdiam diri, akhirnya pihak Microsoft buka suara juga. Tak tanggung-tanggung Presiden Direktur (Presdir) PT Microsoft Indonesia Tony Chen yang mencoba menengahi kontroversi tentang MoU antara Microsoft dengan Pemerintah Indonesia.

Tony Chen merasa perlu mengklarifikasi persoalan MoU tersebut yang terkesan menyudutkan Microsoft. Bahwa Microsoft akan melakukan monopoli pengadaan software bagi instansi pemerintah.

"Itu tidak benar. Microsoft bukanlah satu-satunya penyedia software untuk instansi pemerintah karena ada beberapa kementerian atau instansi pemerintah yang menggunakan software non-Microsoft. Jadi, sangat wajar jika sebagai penyedia software terbesar, produk kami juga paling banyak digunakan," kata

Tony kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Jumat (23/3)

Tony juga menegaskan bahwa posisi Microsoft hanya diundang oleh Pemerintah Indonesia. “Kami memenuhi undangan pemerintah. Kami berupaya memberikan skema terbaik bagi proses legalisasi software yang selama ini telah digunakan oleh pemerintah. Ini adalah salah satu bentuk komitmen kami dalam membantu pemerintah untuk be legal,” ujarnya. Program legalisasi software Microsoft hanya akan dilaksanakan untuk komputer-komputer yang sudah menggunakan software Microsoft secara tidak resmi.

Pernyataan Tony tak jauh beda dengan apa yang pernah ditegaskan oleh Menkominfo Sofyan Djalil. Waktu itu, Menteri Sofyan berkali-kali menegaskan bahwa MoU dengan Microsoft akan terus dilanjutkan meskipun berakhir pada 31 Maret 2007 nanti. Sebagai langkah awal, lanjut Menteri Sofyan diawali dengan survei perangkat lunak di sektor pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Bahkan, Menteri Negara Ristek dan Teknologi Kusmayanto Kadiman secara prinsip menyatakan dukungannya terhadap MoU Microsoft. Ia menilai bahwa MoU tersebut penting terutama sebagai salah satu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HKI dan mendorong kampanye penggunaan perangkat lunak resmi (be legal).

Menanggapi rencana Pemerintah Indonesia yang akan melakukan survei terlebih dahulu, Tony dapat memahaminya. “Saya menilai bahwa sangat wajar dan kami sangat mengerti kalau Pemerintah Indonesia perlu waktu lebih agar pelaksanaan MoU tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar,” ungkap Tony.

Ia juga menegaskan bahwa 31 Maret 2007 itu tidak pernah disebut sebagai deadline. Tanggal tersebut, kata Tony hanya merupakan target jadwal pelaksanaan proses legalisasi software komputer milik pemerintah.

Terkait dengan hasil kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Tony sangat menghargai pendapat dan perhatian KPPU. Hanya saja, Tony menyayangkan pihak KPPU yang tidak pernah mengundang Microsoft untuk memberikan keterangan soal MoU tersebut. “Saya khawatir ada pemahaman yang salah soal MoU tersebut yang berkembang di masyarakat. Perlu diingat bahwa MoU itu justru untuk melegalisasi produk Microsoft yang selama ini dipakai dengan cara tidak resmi alias ilegal,” tandasnya.

Sementara itu, ditemui terpisah, Girry Gemilang Sobar, Komite Eksekutif Monopoly Watch melihat bahwa MoU tersebut bukan merupakan penguatan penguasaan pasar oleh Microsoft. Mou Microsoft itu juga bukan penghambat bagi pesaing potensial untuk mengembangkan usahanya.

Girry justru melihat bahwa MoU tersebut untuk melegalisasi komputer-komputer yang menggunakan software Microsoft yang telah terpakai selama secara tidak resmi. Sifat MoU itu sendiri juga tidak mengikat.

“MoU ini merupakan salah satu contoh bentuk perlindungan pemerintah terhadap HKI. Dengan adanya MoU Microsoft akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pengembang software lokal untuk berkreasi dan berinovasi karena sudah adanya contoh perlindungan HKI untuk software,” papar Girry.

Ia menambahkan, program legalisasi software merupakan salah satu bentuk dukungan dalam penegakan hukum untuk mengatasi pembajakan software dimana instansi pemerintah bisa menjadi contoh baik bagi kalangan swasta dan masyarakat luas karena telah menggunakan software resmi. Kepastian hukum akan membuat investor asing untuk lebih yakin dalam berinfestasi dan berinovasi di Indonesia.

Dalam masalah ini, lanjut Girry pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tidak terbatas atau rule of reason dalam perspektif hukum persaingan usaha di Indonesia. Artinya, jika dalam implementasi MoU tersebut menimbulkan kerugian bagi pesaing dan pengguna (konsumen), maka MoU tersebut harus dikaji ulang dan atau dibatalkan.

”Pendekatan ini digunakan mengingat kharakteristik sektor industri bersangkutan yang sangat unik, karena perkembangan tehnologi bukanlah milik seseorang dan atau sekelompok pelaku usaha tertentu. Karena itu, Masyarakat IT dan pemerintah harus serius membenahi sektor industri guna mendukung upaya interaksi dengan hukum persaingan di Indonesia,” tambah Girry.

Arsip:23 Maret 2007

Sumber:
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16406&cl=Berita


No comments: