Saturday 25 August 2007

KPPU Diminta Koreksi Keputusan Kasus Tanker Pertamina

Dibekukan, Hak Voting Dua Komisaris Pertamina

JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diminta mengoreksi putusan mengenai kasus penjualan tanker Pertamina. Pasalnya, putusan KPPU yang hanya menjatuhkan sanksi berupa denda kepada dua terlapor, yakni Goldman Sachs dan Frontline Ltd itu dinilai kurang tegas dan justru akan menjadi bumerang bagi KPPU.

"Seharusnya keputusan KPPU jangan setengah-setengah. Ini justru akan menjadi bumerang. Dalam keputusannya KPPU harus mencantumkan sanksi pidana, yang bisa berupa ancaman kurungan dan pembatalan perjanjian. Jangan hanya denda, yang hanya ditujukan untuk dua terlapor, Goldman Sachs dan Frontline, sementara Pertamina yang juga menjadi pihak terlapor, tidak," kata Ketua Komite Eksekutif Monopoly Watch, Girry Gemilang Sobar kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (8/3).

Melalui sambungan telepon, Girry menjelaskan, putusan KPPU mengenai pelanggaran Undang-undang (UU) No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, akan membahayakan KPPU. Terbukti, hanya selang beberapa jam setelah KPPU membacakan putusannya, pihak terlapor (Goldman Sachs) langsung melayangkan protes dan menyatakan siap menggugat keputusan tersebut.

Dalam keputusan KPPU disebutkan batas waktu 14 hari bagi para terlapor, kecuali Pertamina, untuk menyatakan menerima putusan pelanggaran dengan sanksi denda itu. Selama kurun waktu tersebut, menurut Girry, KPPU harus bersiap menghadapi konsekuensi keputusan, termasuk meladeni gugatan para terlapor hingga ke pengadilan.

"Kami sangat mendukung keputusan KPPU dan akan terus mengawasi sampai proses pengadilan nanti. Tapi, menurut kami, sebaiknya KPPU mengoreksi putusannya. Ini sangat rawan, karena kita tahu kalau sampai ke pengadilan kan banyak mafia, sehingga bisa saja putusan KPPU justru akan membahayakan lembaga itu sendiri," katanya.

Semua Ditindak

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI, Irmadi Lubis di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Direksi PT Pertamina (Persero) di Jakarta, Senin (7/3) mengatakan pemerintah hendaknya tidak hanya "mengincar" Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone sebagai pihak yang dituntut pertanggung-jawaban atas penjualan tanker jenis very large crude carrier (VLCC) itu. Menurut dia, keputusan penjualan VLCC tentu bukan hanya bergantung pada seorang direktur keuangan, tetapi kebijakan perusahaan yang harus mendapat persetujuan dari seluruh jajaran direksi dan komisaris.

"Kalau memang ini dilihat ada tendensi merugikan negara, tentu bukan hanya seorang direktur keuangan yang terlibat. Tapi, malah yang lebih besar lagi (yang jabatannya lebih tinggi-red). Pemerintah harus tegas dalam kasus ini," katanya.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Widya Purnama yang diminta komentar mengenai penonaktifan Alfred Rohimone, mengatakan dirinya siap menggantikan peran dan tugas yang selama ini diemban direktur keuangan, bila pemerintah kesulitan mencari pengganti. Pada prinsipnya, Pertamina telah menyiapkan langkah-langkah untuk menindaklanjuti keputusan KPPU.

Namun, saat diminta penjelasan mengenai pembekuan hak voting dua komisaris Pertamina, yakni Roes Aryawijaya dan Iin Arifin Takhyan, Widya sama sekali tidak mau berkomentar. Meski wartawan mendesak, dia tetap bungkam.

Menyusul keputusan KPPU mengenai kasus penjualan tanker Pertamina, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN) Sugiharto, Minggu (6/3) telah menonaktifkan Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone. Setelah itu, Senin (7/3) Sugiharto, mewakili pemerintah sebagai pemegang saham di Pertamina, juga membekukan hak voting dua komisaris Pertamina, Roes Aryawjaya dan Iin Ariffin Takhyan yang dinilai terlibat dalam persetujuan penjualan VLCC.

Sugiharto, mengatakan pemerintah tidak menyiapkan pengganti Direksi Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone yang dinonaktifkan dari tugasnya untuk mengusut kasus penjualan kapal tanker Pertamina. Selain faktor asas praduga tak bersalah, Pemerintah juga menunggu hasil Rapat Umum Pemegang Saham Pertamina.

"Saya minta mereka berdua tidak boleh ikut terlibat dalam pengambilan keputusan komisaris. Khususnya untuk kasus ini. Supaya adil, jadi hak voting (dua komisaris) untuk kasus ini tidak boleh. Supaya independen," ujar Sugiharto.

Sementara untuk kasus ini sendiri, bila ditemukan pelanggaran terhadap pihak-pihak terkait dalam kasus penjualan kapal tanker, pemerintah pasti akan meneruskan kasus ini ke kepolisian dan dilanjutkan dalam proses pengadilan. (L-10/H-13)


Arsip: 8/3/05

Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/08/Ekonomi/eko02.htm

No comments: