Wednesday, 7 November 2007

Birokrasi Rente Dalam Tubuh Otonomi Daerah

Pelaksanaannya ternyata memunculkan banyak persoalan. Berbagai bukti menunjukkan praktek korupsi masih saja berlangsung

Pelaksanaan otonomi daerah demi meningkatkan kesejahteraan umum di seluruh pelosok tanah air perlu didukung. Namun, perlu dikondisikan hal-ihwal yang berurusan dengan investasi, agar pembangunan yang dicanangkan berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Untuk itu pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2006, memberikan ketentuan yang mengatur investasi bagi pengadaan barang dan jasa bagi pembangunan daerah.

Meski pelaksanaan otonomi daerah didukung oleh regulasi yang kuat, namun masih saja menyeruak keluhan dan kejadian yang tidak senonoh, hampir di setiap pemerintahan daerah. Kolusi dan korupsi masih saja berlangsung di segala level birokrasi. Begitu pun tingkat koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota, tidak harmonis. Yang terjadi kemudian pemerintahan tidak berjalan efektif.


Masalah koordinasi pernah menjadi sorotan dalam pemerintahan Megawati. Tak pelak Mega sebagai presiden kala itu menyayangkan pelaksanaan otonomi daerah yang menurutnya ’kebablasan’. Akan hal itu, ia mengusulkan agar pelaksanaan otonomi daerah perlu dievaluasi, bahkan ada baiknya undang-undang yang mengatur tata kelola otonomi daerah direvisi. Sayangnya niat untuk itu baru sebatas wacana. Bahkan sampai saat ini, belum ada upaya konkrit dari pemerintah untuk meninjau kembali undang-undang tersebut.

Menurut pakar ilmu pemerintahan Andriansyah yang juga wakil dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Moestopo, ada dua faktor yang harus disoroti dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: Regulasi dan Tata kelola pemerintahan. Terhadap regulasi, masih menurut Andriyansah, diperlukan penelitian yang cermat bila ada keinginan merevisi UU No. 32 Tahun 2000. Dan yang tak kalah pentingnya perlu dibahas regulasi mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah, seraya memikirkan subsidi silang bagi daerah yang relatif tertinggal.

”Bila pemerintah akan merevisi UU No. 32 Tahun 2000 diperlukan desain strategi bagi penguatan provinsi dan koordinasi antar pemerintahan daerah dan lembaga-lembaga terkait.. Selain masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedang untuk tata kelola pemerintahan, yang dibutuhkan adalah integritas aparatur birokrasi. Maka pengawasan publik menjadi signifikan. Agaknya permasalah yang terakhir ini sering menimbulkan nampak negatif, seperti kolusi dan korupsi dalam pola birokrasi rente. Pintu masuknya adalah diabaikannya Keppres No. 8 Tahun 2006 dalam mengatur pelaksanaan barang dan jasa.” ujar Andriyansah.

Dalam kajian sosiologi hukum yang dilakukan oleh Lembaga Advokasi Masyarakat Kalimantan Tengah, pertengahan Oktober 2007, dijumpai beberapa keganjilan yang cukup rawan. Diantaranya, ketidakpatuhan aparatur birokrasi di tingkat kabupaten/ kota kepada pemerintah pusat dan provinsi, hubungan dengan investor asing secara luas bahkan tanpa sarat, dan ’transformasi’ kolusi daru pusat ke daerah.

Yang paling parah menurut Sugi Santosa, pakar hukum tata negara yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Masyarakat Kalimantan Tengah adalah penghamburan uang negara, baik dari alokasi APBD maupun APBN, dan itu terjadi hampir di semua proyek dan investasi. Tampaknya hal ini menyeruak di pelbagai daerah.

Girry Gemilang Sobar Pemerhati Persaingan Bisnis, dalam penelitian pendahuluannya mengenai persaingan bisnis di beberapa kabupaten dan kota memiliki potensi pelanggaran dalam hal pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBD dan APBN. Di daerah Indramayu misalnya, ditemukan sejumlah kejanggalan yang relatif melanggar ketentuan. Namun dalam prakteknya dibiarkan berjalan mulus, seolah semua sesuai dengan hukum yang berlaku. Padahal yang terjadi sebaliknya. Akankah hal ini dibiarkan berlarut-larut? (Giat Wahyudi)

Sumber: Majalah Majelis MPR RI, Edisi 6 Oktober 2007

No comments: