Sunday 26 August 2007

Tender Sarat Kolusi Kontra Good Governance

Studi Kasus High Cost Procurement

Girry Gemilang Sobar*

POWER tend to corrupt masih menjadi tiran di berbagai bidang. Fenomena ini menjangkiti proses otonomi daerah yang ternyata mengendorse pola-pola rejim di daerah. Haus akan kekuasaan, sehingga prinsip-prinsip good governance hanya sebatas slogan belaka. Otonomi daerah seharusnya bisa menjadikan daerah mampu secara mandiri membangun wilayahnya sesuai dengan kebutuhan daerahnya dengan efektif dan efisien.

Prinsip-prinsip good governance antara lain transparansi, akuntabilitas, penegakan supremasi hukum, efektif dan efisien, mungkin kali ini harus benar-benar dievaluasi kembali. Sejauhmana efektifitas prinsip-prinsip tersebut dapat membangun tata pemerintahan yang baik di daerah masing-masing.

Salahsatu masalah yang terkait dengan pelaksanaan good governance, adalah pengaturan terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pengaturan ini diharapkan dapat lebih efisien melalui pengadaan barang dengan biaya rendah (low cost procurement). Selama ini ada anggapan bahwa dalam proses pengadaan barang dan jasa terjadi praktik yang mengakibatkan high cost procurement.

Melalui Keppres 80 tahun 2006, pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur. Kebijakan tersebut diharapkan pengadaan barang/ jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun pemanfaatannya bagi tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Praktik high cost procurement, termasuk tindakan penghamburan keuangan yang berdampak pada kerugian negara. Perilaku tersebut merupakan salahsatu perilaku KKN yang diharamkan oleh aturan hukum manapun. Kecenderungan ini hampir terjadi dalam setiap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, dari tingkat pusat bahkan di tingkat daerah.

Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, tidak terlepas dari dunia usaha dan atau sektor usaha bersangkutan. Sementara dalam dunia usaha pun, dibutuhkan kepastian hukum agar iklim usaha menjadi kondusif dan dapat memberikan insentif bagi pelaku usaha yang bersangkutan. Oleh karenanya, sinergi peraturan antara Keppres 80 tahun 2006 dan UU No 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, harus bisa menghilangkan perilaku penghamburan anggaran keuangan pusat maupun daerah.

MoU antara Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan sinergi yang baik dalam penegakan hukum persaingan dan hukum korupsi di
Indonesia, khususnya dalam menciptakan pemerintahan yang bersih. Sinergi ini juga harus menjadi tolak ukur kinerja pemerintah pusat dan daerah untuk bersama-sama mengevaluasi tingkat kebutuhan agar kerugian negara dapat diminimalisir.

Kita bisa mengambil contoh pemerintahan daerah Indramayu, salah satu kabupaten yang terletak di pesisir utara Jawa Barat, yang di tahun 2006 mendapatkan penghargaan "Best Effort Adipura 2006". Memiliki penghargaan adipura bukanlah tolak ukur pemerintahan daerah tersebut telah melaksanakan prinsip-prinsip good governance. Jika kita amati lebih tegas, masih terdapat perilaku inefisiensi akibat tidak efektifhya pengawasan terhadap tender barang dan jasa.

Pengawasan tender salahsatu bentuk perilaku inefisiensi dan anti persaingan di daerah tersebut antara lain, pengawasan terhadap tender di bidang pendidikan yaitu mengenai "Kegiatan Belanja Modal Pendampingan Pembangunan SMK Negeri 2 Indramayu (Pengadaan Sarana Laboratorium Komputer dan Laboratorium Nautika Perkanan Laut). Dalam kasus ini, panitia lelang justru memenangkan perusahaan dalam kategori fiktif alias bodong. Hal ini pasti sangat mengejutkan mengapa hal ini bisa terjadi.

Unsur collusive tender, sudah bisa dipastikan terjadi dalam proses tender tersebut. Pemenang tender, sebut saja CV. Trio Putra, setelah ditelusuri ternyata memiliki dokumen tender yang bisa dibilang fiktif. Dari dokumen penjamin hingga dokumen mengenai dukungan dari perusahaan produsen/ distributor/ agen peralatan laboratorium komputer dan laboratorium nautika perikanan laut adalah dokumen fiktif, karena para pihak yang terkait sebagai pendukung pemenang tender sudah melakukan klarifikasi bahwa tidak pernah mengeluarkan dokumen dan atau surat dukungan kepada C V. Trio Putra dalam mengikuti tender tersebut.

Memang tender ini merupakan segmen paket kecil, akan tetapi jika kita berasumsi saja, Indonesia memiliki kurang lebih 400 kabupaten, berapa jumlah kerugian negara sesungguhnya jika hal itu terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Belum lagi pengadaan barang dan jasa pemerintahan di paket yang lain. Kita tidak bisa bayangkan berapa jumlah kerugian negara yang harus ditanggung akibat pengawasan di bidang ini tidak efektif. Oleh karenanya, marilah kita bersama-sama melakukan pengawasan efektif khususnya di bidang pengadaan dan jasa pemerintah dapat meminimalisir berbagai kebocoran dan tindakan penghamburan anggaran negara. Demikian halnya dengan para penegak hukum agar hal ini menjadi prioritas utama dalam menegakkan hukum dari tingkat yang paling kecil. Terimakasih


* Pengamat Persaingan Bisnis
Komite Eksekutif Monopoly Watch

Arsip: Indopos, 20 Agustus 2007, hlm 4

No comments: