Komisioner harus independen dan keputusan harus transparan
Skandal suap yang melibatkan eksekutif kelompok Lippo Billy Sindoro dan komisioner KPPU M. Iqbal kini sedang bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Tipikor menyatakan Billy telah memberikan uang Rp500 juta kepada Iqbal yang menangani kasus Liga Inggris. Billy disebut-sebut mewakili kepentingan Lippo Group di PT First Media dan PT Direct Vision.
Meski KPK lebih memfokuskan diri pada tuduhan suap yang dilakukan Billy Sindoro, tetapi fakta-fakta yang terungkap dipersidangan tidak dapat dilepaskan dari adanya upaya intervensi terhadap keputusan yang dikeluarkan KPPU atas dugaan kasus monopoli siaran Liga Inggris.
Sebelum tertangkap, KPK merekam pembicaraan dan juga menyimpan catatan SMS Iqbal dan Billy. Satu fakta yang cukup menyudutkan mereka berdua adalah adanya SMS yang meminta agar Iqbal memasukkan pasal injunction dalam keputusan KPPU.
KPPU ternyata memang benar-benar memasukkan amar injunction dalam keputusannya. Bunyi pasal tersebut adalah "memerintahkan AAMN dan FZ LCC (anak perusahaan Astro Malaysia) untuk menjaga dan melindungi kepentingan konsumen TV berbayar di Indonesia dengan tetap mempertahankan kelangsungan hubungan usaha dengan PT Direct Vision dan tidak menghentikan seluruh pelayanan kepada pelanggan sampai adanya penyelesaian hukum mengenai status kepemilikan PT Direct Vision".
Dengan demikian, wajar jika publik mempertanyakan keabsahan keputusan KPPU dalam kasus Liga Inggris. Mengapa demikian? Karena begitu kuat dugaan adanya permainan uang dalam keputusan KPPU. Apalagi, khusus pasal injunction, sama sekali tak terkait dengan substansi persoalan, yakni soal monopoli hak siar Liga Inggris.
Argumen KPPU bahwa keputusan nomor 5 tersebut dikeluarkan untuk melindungi kepentingan konsumen menjadi sumir mengingat apa yang diputuskan telah melebihi wewenang KPPU atas kasus ini yang sejatinya hanya mengusut kasus monopoli siaran Liga Inggris, bukan sengketa bisnis Lippo - Astro yang hingga kini masih berlangsung.
Bagi KPPU, tertangkapnya M Iqbal jelas sangat mencoreng citra lembaga tersebut. Betapa tidak, komisi ini sudah 8 tahun bersusah payah menegakkan iklim persaingan usaha yang sehat. Apalagi Iqbal merupakan satu dari lima anggota komisi yang duduk dalam dua periode, yakni periode 2000-2006 dan 2006-2011.
Boleh dikatakan, sebelum kasus suap terhadap Iqbal terkuak, inilah satu-satunya komisi negara yang bebas dari aroma korupsi. Sejumlah kasus besar tertangani dengan baik. Misalnya saja kasus Temasek yang dituduh melakukan monopoli atas kepemilikan saham di Indosat dan Telkomsel. Dan pemerintah menghormati kerja KPPU, dengan tidak melakukan intervensi dalam kasus tersebut.
Pelajaran berharga
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian M Iqbal ini. Pertama, lemahnya pengawasan terhadap keputusan KPPU. Sebagai badan independen, KPPU tidak memiliki lembaga pengawas dari keputusan-keputusannya. Sistem di pengadilan negeri untuk kasus persaingan usaha juga bersifat tertutup.
Pengawasan dari masyarakat juga tidak terlalu besar. Selain karena kasus persaingan usaha terkesan lebih rumit dibanding kasus pidana umum, sengketa persaingan usaha juga tidak secara langsung bersentuhan dengan masyarakat luas.
Kedua, perlunya suatu kode etik bagi komisioner agar penerapan sanksinya menjadi jelas, sehingga bila ada kasus seperti M Iqbal, KPPU dapat menerapkan sanksi administratif sambil menunggu keputusan pengadilan.
KPPU bekerja atas perintah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini lahir dari tuntutan reformasi. Mengingat KPPU merupakan lembaga yang diandalkan untuk mejadi hakim yang adil bagi para pelaku usaha agar bertindak secara fair, etika komisioner juga menjadi ukuran yang penting bagi keputusan yang kredibel.
Kredibilitas tersebut bukan saja menyangkut kepandaian dan kecakapan mereka dalam aspek hukum dan ekonomi semata, tetapi juga integritas semua anggotanya di mata pelaku ekonomi. Bukankah kita sedang giat menegakkan good corporate governance (GCG)?
Ketiga, pentingnya independensi komisioner. Para komisioner KPPU diharapkan tidak terafiliasi dengan satu kepentingan tertentu, baik kepentingan kelompok seperti kepentingan partai maupun dengan kepentingan bisnis. Saat ini beberapa komisioner KPPU adalah anggota partai politik tertentu dan disinyalir beberapa dari mereka terafiliasi dengan firma hukum yang banyak menangani sengketa persaingan usaha, dan sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan DPR.
Seharusnya pemerintah dan DPR bertanggung jawab atas independensi para komisioner KPPU, karena Presiden sebagai pengusul calon komisioner dan DPR yang melakukan fit and proper test terhadap anggota KPPU dan tentunya syarat tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Kini, kredibilitas KPPU benar-benar diuji. Mengembalikan kredibilitas komisi menjadi pekerjaan rumah KPPU. Ini bukan pekerjaan gampang, tetapi juga tak terlalu sulit jika ada keinginan serius untuk itu.
Caranya, dengan menjelaskan dengan transparan, bagaimana keputusan ini bisa muncul. Jika ada kesalahan, akui pula secara kesatria dan terbuka.
Dengan demikian, kredibilitas KPPU sebagai lembaga yang berperan untuk menyehatkan iklim persaingan usaha di Tanah Air bisa kembali terbangun.
Kembali ke persoalan suap-menyuap, publik kini masih menunggu, ke mana pemeriksaan ini akan berujung, apakah suap dari Billy itu hanya untuk Iqbal, atau malah dinikmati secara kolektif, mengingat ada dua komisioner lainnya yang tersangkut, yakni Tadjudin Noer Said dan Benny Pasaribu.
Persidangan ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi publik, sejauh mana keputusan ini akan berimplikasi terhadap putusan Mahkamah Agung (MA), yang akan memutuskan kasasi Astro atas keputusan PN Jakpus. Seperti kita tahu, PN Jakpus telah menguatkan keputusan KPPU dalam kasus Liga Inggris.
Tentunya logis jika MA mempertimbangkan fakta hukum yang ada di Pengadilan Tipikor, di mana bukti-bukti adanya suap dalam keputusan KPPU begitu terang benderang. Jangan sampai MA sebagai benteng keadilan di negeri ini meniadakan fakta suap dan korupsi di dalam perkara yang mereka tangani. Sebab secara substansi tujuan MA dan Pengadilan Tipikor adalah paralel: menegakkan hukum dan keadilan di negeri ini.
Sumber: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id98218.html
Sunday, 18 January 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Wajah negeri ini tak pernah berubah sejak lahirnya Orde Baru.
Bopeng muka yang dulu tersembunyi rapi di balik topeng kekuasaan, kini semakin mulai terlihat ujud aslinya.
Tabik...
Gir..., postingan kau yang kau tulis sendiri yang mana? Thanks...
PERADILAN INDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA
Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??
David Pangemanan,
(0274)9345675
Post a Comment